Pemilu 2014 sebentar lagi, banyak cerita beredar tentang cara-cara para caleg mendapatkan suara. Meski tidak terbukti, tapi rumor tentang pemberian uang kepada pemilih agar mencontreng nama sang caleg di bilik suara sudah beredar sangat luas. Ada juga rumor bahwa selain uang, masyarakat juga diberikan sejumlah bingkisan, diantaranya adalah sembako.
Kalau benar kejadian seperti itu, apalagi jika dilakukan oleh mayoritas, maka kondisi Indonesia sangat mengkhawatirkan, meski kita tidak bisa menghakimi bahwa semua caleg melakukan hal tersebut. Jika benar ada praktek pemberian uang untuk mendapatkan suara, lalu siapa yang salah?
Kita tidak bisa melimpahkan kesalahan sepenuhnya kepada caleg atau tim suksesnya, karena pemberi dan penerima sama-sama memberi kontribusi terhadap kemerosotan bangsa dari berbagai sisi, termasuk ekonomi.
Sangat disayangkan jika Anda memilih wakil rakyat berdasarkan siapa yang bayar, Anda hanya akan mendapatkan uang dalam jumlah sedikit, kemudian kehidupan dan kesejahteraan semua orang (termasuk diri Anda sendiri) dikorbankan.
Jika ada calon anggota legislatif atau calon pemimpin menggunakan cara-cara tidak terpuji dalam berkampanye, maka besar kemungkinan dia tidak menempatkan kepentingan rakyat pada urutan teratas. Dalam skala prioritasnya adalah kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan.
Belajar dari fenomena Jokohok (Jokowi-Ahok) di Jakarta, tanpa melakukan politik uang mereka bisa menjadi gubernur dan wakil gubernur karena memang mereka dicintai rakyat, mereka diplih bukan karena bagi-bagi uang. Dan efeknya sangat terasa, banyak manfaat bisa dirasakan warga DKI secara umum, meski tidak sedikit juga kritik terhadap kinerja mereka berdua selama ini. Namun memang tiap-tiap orang tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, yang kita cari adalah yang kelebihannya jauh lebih banyak dan lebih dibutuhkan untuk mencapai kesejahteraan.
Jokohok hanya satu contoh dari pemimpin ideal, tentu masih banyak lagi pemimpin dan wakil rakyat seperti mereka, tinggal bagaimana kita sebagai masyarakat umum untuk tidak asal memilih, jangan memilih hanya karena diberi uang atau bingkisan, karena itu sama saja dengan menjual suara. Terlalu murah suara Anda jika ditukar dengan sekardus sembako dan amplop tipis berisi uang tunai. Sementara penderitaan mengancam selama lima tahun.
Maraknya kasus korupsi, apakah itu tidak juga menyadarkan kita untuk tidak menjual suara? Mereka para caleg hanya memberi sedikit, tapi harta kita dan anak cucu dirampok begitu saja demi memperkaya diri. Kekayaan alam dikeruk, dana pembangunan disunat, dan berbagai tindak korupsi lainnya.
Lebih baik menolak tawaran uang untuk memilih salah satu calon, tidak apa-apa, yang penting dalam setidaknya lima tahun kedepan wakil kita di DPR maupun di DPRD tetap berjuang dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat.
Mentalitas kita harus dibangun agar tidak menjadi mental koruptor, jika saat menjadi rakyat kita sudah menerima sogokan, bagaimana nanti jika memegang suatu jabatan penting? Bisa jadi kita akan lebih ganas dibanding koruptor sekarang.
Sekali lagi saya tidak menuding adanya praktek sogok menyogok dalam mencari suara, tapi rumor tentang itu sudak beredar sangat luas, tapi semoga saja saya salah.
Mari kita sukseskan Pemilu 2014 dengan damai, jujur, adil, tanpa ada kecurangan. Orang jujur, kemana-mana perasannya tenang, enak, damai, walaupun mungkin kantongnya cekak. Biarlah rezeki ala kadarnya atau secukupnya, tapi kalau berkah, rasanya akan lebih nikmat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar